Bagaimana Dampak dari Tren Thrifting pada Kita?

Musallamah
3 min readApr 8, 2021

--

Thrifting atau jual-beli pakaian bekas menjadi tren yang sangat diminati di era pandemi ini. Munculnya toko-toko online menjadi salah satu buktinya. Perubahan tren masyarakat hingga teknologi turut ikut serta dalam perkembangan bisnis ini.

Pada awalnya penggunaan pakaian bekas ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Dikutip dari Times.com, budaya ini berawal dari gerakan Salvation Army’s (1897) dan Goodwill Industries (1902) yang para awalnya memberdayakan orang-orang miskin untuk mengolah kembali pakaian bekas hingga menjadi layak pakai.

Namun, seiring berembangnya budaya thrifting membuat semua kalangan masyarakat bisa menjadi penjual atau pembeli, bahkan termasuk orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah teratas.

Peminat paling besar pada bisnis ini adalah para generasi milenial dan Gen-Z. Generasi ini turut serta dalam meningkatkan tren thrifting yang tak lain alasannya karena jenis pakaian pada thrift shop membuat mereka dapat terus mengikuti tren fesyen tanpa harus mengeluarkan banyak uang.

Selain itu, kini banyak penjual thrift yang membuka lapaknya di media sosial seperti Instagram dan Depop. Selain peranan generasi milenial, tren ini juga dipopulerkan oleh para artis dan influenzer yang membuatnya semakin diminati.

Kepedulian masyarakat terhadap thrifting

Menurut laporan “The State of Fashio 2019” sembilan dari 10 konsumen Gen-Z percaya bahwa perusahaan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial.

Dikutip dari (BER), sebenarnya sudah ada brand yang menggunakan bahan daur uang dan memperhatikan lingkungan seperti Reformation dan Everlane. Namun, kerena harga yang lebih tinggi membuat Gen-Z lebih memilih thrift shop.

Thrift Shop ini juga merupakan perlawanan dari praktik fast fesyen yang merupakan industri tekstil dengan menawarkan pakaian siap pakai dan pergantian model dalam waktu singkat. Namun, dalam proses produksinya cenderung mengenyampingkan kesehatan ingkungan dengan menggunakan bahan kualitas rendah dan berbahaya.

Menurut Business Insider, produksi fesyen menyumbang 10% dari total emisi karbon global dan hal ini menyebabkan mengeringnya sumber air serta mencemari sungai.

Dan 80% dari semua tekstil dibuang ke tempat sampah setiap tahunnya. Sedangkan menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB, perubahan iklim emisi dari maufaktur tekstil saja diproyeksikan akan meroket hingga 60% pada tahun 2030.

Sejalan dengan kepedulian masyarakat terhadap thrifting, memunculkan sebuah ironi. Masyarakat seakan dibuat serba salah. Di satu sisi mereka sudah memiliki kepedulian terhadap lingkungan, tetapi di sisi lain yang mereka lakukan berpotensi merugikan masyarakat menengah ke bawah.

Dampak thrifting terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah

Dikutip dari wawancara yang dilakukan oleh Kumparan.com terhadap beberapa i, faktor yang membuat harga pakaian bekas kini naik adalah pelayanan dari thrift shop itu sendiri, seperti effort hunting, waktu, dan tenaga serta kelangkan jenis brand tersebut.

Beberapa orang bahkan sengaja berburu pakaian bekas dengan tujuan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Sedangkan peningkatan minat dan naiknya harga pakaian bekas belum tentu mengurangi jumlah pasokannya.

Menurut (BER), banyaknya pembelian tidak selalu mempengaruhi pasoan selama pakaian bekas tersebut diedarkan kembali ke pasar barang bekas daripada berakhir di sampa atau lebih baik didnasikan.

Berdasarkan EPA (Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat), 11,3 juta ton tekstil termasuk pakaian bekas berakhr di tempat pembuangan akhir (TPA) dan juga terhitung 7% dari limbah TPA nasional.

Sedangkan, menurut Saver 2018 State of Reuse Report yang dikutip dari treehungger.com, dari 28% orang yang menyumbangkan pakaian bekas, hanya 7% orang yang membelinya. selain itu, hanya 20% pakaian Amerika yang masuk ke toko-toko barang bekas yang kemudian dijual ke konsumen.

Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pasokan pakaian bekas masih berlebihan dan cenderung berakhir di tempat sampah. Sehingga untuk pemasokan masyarakat menengah ke bawah tidak kekurangan jatahnya.

Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah peningkatan harga pada pakaian bekas tersebut. Karena toko-toko pakaian bekas bebas menaikkan harga sesuai dengan pelayanan dan usaha yang mereka lakukan.

Hal ini tergantung dengan bagaimana cara masyarakat saling memperhatikan dan tidak apatis terhadap situasi sosialnya.

Semua orang dapat berpendapat bahwa semua orang berhak untuk berbelanja pakaian bekas. Namun, harus diketahui bahwa orang yang paling bergantung pada toko pakaian bekas adalah orang yang memiliki ekonomi menengah ke bawah.

--

--

Musallamah
Musallamah

Written by Musallamah

0 Followers

Diisi dengan berbagai artikel mengenai fashion untuk memenuhi tugas Jurnalistik

No responses yet